Merawang, Bangka – Ponton tambang timah (TI) di kawasan Jada Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, yang selama puluhan tahun dilarang aturan, kini mendadak terbuka dan beroperasi. Padahal, kawasan ini termasuk wilayah terlarang untuk aktivitas tambang sesuai Undang-undang Minerba.
Aturan jelas menyebutkan:
Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 (perubahan UU Minerba) menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengancam pidana bagi perusakan lingkungan akibat tambang ilegal.
Namun faktanya, di lapangan kini muncul tiga kubu besar: Tiliu, Miliu, dan Rungol. Informasi A1 menyebut, masing-masing kubu punya jaringan dan beking. Lebih jauh, dugaan keterlibatan oknum aparat berseragam ikut mencuat, dengan indikasi mengarah pada oknum dari Korem maupun AL.
Tak berhenti di situ, sumber kuat juga menyebut adanya jalur koordinasi yang mengarah hingga ke komando teritorial dan laut. Isu berkembang, praktik pembiaran ini tidak mungkin berjalan mulus tanpa sepengetahuan pucuk komando di daerah. Publik pun menyoroti peran Danrem dan Danlanal – apakah benar-benar tidak tahu, atau memilih diam di tengah hiruk pikuk tambang ilegal.
“Dulu ponton di sini gak bisa jalan karena larangan keras. Sekarang bisa terbuka, artinya ada orang besar yang pasang badan,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Di tengah kisruh ini, muncul pula tudingan dari koordinator lapangan bahwa media yang memberitakan soal tambang ini dianggap “mengambil jatah”. Tudingan itu perlu diluruskan. Media menjalankan tugas sesuai amanat UU Pers No. 40 Tahun 1999, yakni melakukan fungsi kontrol sosial dan menyampaikan informasi kepada publik.
Pasal 4 ayat (3) UU Pers menegaskan: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Dengan demikian, pemberitaan soal dugaan tambang ilegal bukanlah bagian dari permainan kepentingan, melainkan tanggung jawab pers untuk mengawasi jalannya aturan negara.
Kini publik menunggu: apakah aparat penegak hukum, termasuk Danrem dan Danlanal, berani menindak tegas sesuai undang-undang, atau justru memilih bungkam membiarkan Jada Bahrin jadi simbol lemahnya penegakan hukum di Bangka?
Tags
Berita