KRIMSUS TV || NTT Hampir setahun kasus dugaan perzinahan di Kabupaten Malaka berjalan tanpa kepastian hukum. Seorang pria berinisial Y.B.K yang melaporkan istrinya, S.K., bersama seorang pria lain berinisial E.H., kini angkat bicara lantang. Ia menegaskan siap mengadukan penanganan kasus tersebut ke Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) karena kecewa terhadap lambannya proses hukum di tingkat Polres Malaka.
“Sudah hampir setahun sejak kejadian, tapi tidak ada kejelasan. Katanya mau klarifikasi dan mediasi, tapi tidak jadi. Setiap kali saya dipanggil justru hanya diarahkan untuk perdamaian, bukan untuk memastikan penyelesaian hukum,” tegas Y.B.K dengan nada kecewa, Senin (23/9/2025).
Ia menegaskan, jika tidak ada tindak lanjut serius, dirinya akan segera membuat surat pengaduan resmi ke Kapolda NTT agar kasus ini diproses sesuai aturan hukum yang berlaku.
Kasus bermula pada Rabu dini hari, 6 November 2024. Malam itu, Y.B. mengantar istrinya pulang dari sebuah acara latihan nyanyi. Ia kembali ke lokasi acara dengan pesan agar pintu rumah tidak dikunci. Namun, perasaan curiga membuatnya pulang lebih cepat.
Sesampainya di rumah, Y.B.K mendapati pintu depan sudah terkunci. Saat itu pula ia melihat seorang pria, E.H., keluar dari pintu belakang. Y.B.K sempat menangkap E.H. yang kemudian disebut-sebut memohon agar kasus tersebut tidak dibawa ke ranah hukum.
Meski laporan resmi telah dibuat di Polsek Kobalima, proses hukum dinilai tak menunjukkan perkembangan berarti.
20 Januari 2025: Polsek Kobalima menerbitkan SP2HP pertama, menyatakan kasus dilimpahkan ke Polres Malaka, Unit PPA.
10 Juni 2025: SP2HP kedua keluar. Dalam dokumen itu disebutkan penyidik telah memeriksa pelapor, kedua terlapor, serta 12 saksi. Gelar perkara juga direncanakan, namun hingga kini tak pernah terlaksana.
26 Agustus 2025: Y.B.K menerima surat undangan klarifikasi dan mediasi dari Kasat Reskrim Polres Malaka, dijadwalkan pada 29 Agustus 2025. Namun, agenda tersebut batal tanpa alasan jelas.
Yang lebih mengecewakan, setiap kali Y.B.K memenuhi panggilan polisi, ia selalu diarahkan untuk berdamai dengan pihak terlapor. Bukan untuk memastikan kelanjutan proses hukum. Hal ini menurutnya semakin menunjukkan adanya ketidakseriusan dalam penanganan kasus.
Menurut Y.B.K, sikap aparat yang lebih menekankan perdamaian dibanding penyelesaian hukum menambah daftar kekecewaannya.
“Kalau dari awal serius ditangani, mestinya sudah ada keputusan. Saya hanya menuntut kepastian hukum, bukan damai-damai tanpa kejelasan,” tegas Y.B.K
Langkahnya untuk melaporkan ke Kapolda NTT, menurutnya, adalah pilihan terakhir agar ada atensi di tingkat provinsi. Ia berharap kasus ini tidak terus dibiarkan menggantung dan bisa segera diputuskan melalui jalur hukum.
Secara hukum, dugaan perzinahan diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut menyatakan bahwa perzinahan merupakan tindak pidana yang dapat diproses berdasarkan pengaduan suami atau istri yang sah. Dengan demikian, pelapor memiliki hak hukum untuk menuntut agar laporannya ditindaklanjuti hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kepastian hukum. Hal ini berarti, laporan Y.B.K seharusnya memperoleh kejelasan, apakah kasus dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan atau dihentikan dengan alasan hukum yang jelas.
Sejumlah pemerhati hukum menilai bahwa lambannya penyelesaian perkara perzinahan sering kali membuat pelapor kehilangan rasa keadilan. Menurut mereka, kepastian hukum adalah hak dasar setiap warga negara, dan aparat penegak hukum seharusnya memastikan bahwa setiap laporan tindak pidana ditangani dengan prosedur yang jelas dan transparan.
“Pasal 284 KUHP sudah tegas mengatur soal delik aduan dalam kasus perzinahan. Jika laporan sudah masuk, maka penyidik berkewajiban menindaklanjuti sampai ada kepastian hukum. Mediasi bisa saja menjadi opsi, tapi tidak boleh menunda atau menggantikan proses hukum yang seharusnya berjalan,” ujar seorang pemerhati hukum yang enggan disebutkan namanya.
Kasus dugaan perzinahan ini kini menjadi sorotan publik di Kabupaten Malaka. Banyak pihak menilai bahwa kinerja aparat kepolisian setempat sedang diuji dalam menangani kasus yang dinilai sensitif dan menyangkut rasa keadilan masyarakat.
Ancaman Y.B.K untuk mengeskalasi kasus ke Kapolda NTT menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa terus dibiarkan menunggu. Rasa keadilan, menurutnya, tidak boleh ditunda dengan alasan mediasi atau perdamaian yang tak pernah jelas ujungnya.
Jika Polres Malaka tidak segera bersikap tegas, bukan mustahil kasus ini akan menjadi perhatian luas masyarakat NTT, bahkan bisa menyeret nama institusi kepolisian ke dalam sorotan publik yang lebih besar. (Albon)
Tags
Berita