MENTOK – Aktivitas penambangan timah laut oleh ponton tower milik CV Nui Te Hua, mitra kerja PT Timah, di perairan Jungku, Bangka Barat, memicu gelombang protes dari warga Desa Tanjung Ular. Perusahaan yang mengantongi Surat Perintah Kerja (SPK) ini dituding telah melanggar batas wilayah operasional, dengan ponton-pontonnya diduga kuat menyerobot dan beroperasi di luar titik koordinat yang ditetapkan, masuk ke wilayah laut Tanjung Ular.
Hasan, seorang tokoh masyarakat Desa Tanjung Ular, mengungkapkan kekecewaannya dengan mendatangi langsung pos CV Nui Te Hua di pesisir Jungku pada Sabtu (27/09/2025). Ia ditemui oleh pengawas lapangan, Sandy, untuk mempertanyakan keabsahan operasi tersebut.
“Jika SPK-nya jelas untuk laut Jungku, seharusnya jangan sampai masuk ke laut Tanjung Ular. Kalau memang ada niat untuk beroperasi di sini, lakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat agar jelas bagaimana bentuk kompensasinya. Jangan sampai warga diadu domba hanya karena masalah batas wilayah kerja,” tegas Hasan, menyuarakan keresahan warga.
Menurut Hasan, masyarakat tidak menolak aktivitas penambangan timah selama dilakukan sesuai aturan dan transparan. Namun, ia menilai baik PT Timah maupun mitranya harus lebih terbuka agar tidak menimbulkan keresahan dan merugikan masyarakat kecil.
Menanggapi protes tersebut, Sandy dari CV Nui Te Hua berjanji akan mengoordinasikan persoalan batas wilayah dengan Kepala Dusun (Kadus) Jungku. “Kami tidak mengetahui secara pasti soal batas laut. Nanti akan kami koordinasikan. Ponton-ponton yang terlanjur masuk ke wilayah Tanjung Ular juga akan segera kami tarik kembali ke laut Jungku,” dalih Sandy.
Namun, pernyataan Sandy kontras dengan pengakuan Kadus Jungku, Bobi, saat dikonfirmasi terpisah. Bobi mengaku hanya mengetahui adanya penandatanganan kerja untuk laut Jungku dan tidak memahami batas-batas wilayah operasional. “Soal batasnya saya kurang tahu. Setahu saya hanya tanda tangan untuk kerja di laut Jungku. Kalau di Tanjung Ular, saya tidak tahu,” jelas Bobi, memperkeruh situasi.
Hasan membantah keras klaim tersebut. Ia menegaskan bahwa aktivitas penambangan di laut Tanjung Ular telah berlangsung sekitar sepekan. “Saya pantau, mereka sudah seminggu bekerja di sana. Hasilnya pun sudah lumayan banyak,” ujarnya. Bahkan, dari keterangan warga lain, hasil timah di perairan Tanjung Ular dalam sepekan terakhir diperkirakan mencapai tiga ton, mengindikasikan operasi yang signifikan dan disengaja.
Selain persoalan batas wilayah, para penambang lokal juga mengeluhkan penurunan harga jual pasir timah ke pihak CV Nui Te Hua. Jika sebelumnya dihargai Rp70 ribu per kilogram, kini hanya dibayar Rp50 ribu per kilogram dengan dalih kadar timah di laut Jungku lebih rendah. Kondisi ini menambah daftar panjang kekecewaan masyarakat terhadap mitra PT Timah tersebut.
Warga menilai, kisruh ini tidak lepas dari lemahnya pengawasan PT Timah sebagai pemberi SPK. “Seolah-olah PT Timah lepas tangan. Malah terkesan membiarkan sehingga warga bisa diadu domba satu sama lain. Kalau begini, yang rugi masyarakat kecil,” keluh seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Masyarakat Bangka Barat berharap PT Timah segera turun tangan memberikan penjelasan resmi dan bertindak tegas terhadap CV Nui Te Hua, mitranya. Intervensi cepat diperlukan untuk mencegah persoalan ini semakin memanas dan menimbulkan gesekan sosial yang lebih luas di tingkat masyarakat.
Tags
Berita