Di tengah senja tambang timah yang meredup, ketika harga timah tak lagi bersinar seperti dulu, Kakek Nudin harus berjuang mencari nafkah dengan memungut buah sawit yang rontok. Daya beli masyarakat kampung yang melemah turut memengaruhi rezeki para pedagang mainan di depan sekolah. Kakek selalu berujar, semua ini adalah imbas dari hasil tambang yang tak lagi menjanjikan dan kebijakan efisiensi negara yang memangkas anggaran.
Di bawah rindangnya pohon, Kakek Nudin duduk tertunduk lesu. Angin semilir menyapu wajahnya, sementara burung-burung camar menari di langit Dusun Rajek. Ia adalah sosok yang sangat berharga bagi kami, satu-satunya pewaris ilmu sunat tradisi, seorang nudin yang tersisa di kampung ini.
Kami mengenal dua masa: ceriak nerang dan ceriak ngelem. Ceriak nerang adalah waktu yang penuh harapan, saat pintu rezeki terbuka lebar. Di bulan terang ini, kami merayakan sedekah bukit dengan pernikahan, khataman quran, dan sunatan massal. Kami percaya, segala sesuatu yang dilakukan saat ceriak nerang akan membawa berkah. Namun, zaman modern telah mengubah segalanya. Tak semua orang percaya pada pembagian waktu adat ini.
"Pohon tidak akan bisa hidup tanpa akar. Bangsa yang meninggalkan tradisinya akan kehilangan jati diri," ujar Kakek Nudin suatu pagi, sambil menyeruput kopi tokaknya dan menyandingkannya dengan beberapa potong durian. "Barang siapa menjaga adat, dialah yang menjaga jati diri bangsanya. Kalau bukan kita, siapa lagi?"
Kakek Nudin berkeliling dari rumah ke rumah, membujuk anak-anak untuk bersedia disunat dengan cara tradisional. Namun, tak banyak yang menyambut baik. Tawaran sunat modern yang tidak sakit semakin menggiurkan. Kakek Nudin berjuang mempertahankan prinsipnya: sunat kampung harus bertahan melawan gempuran teknologi dan dokter-dokter hebat.
"Sunat kampung bukan sekadar memotong, tetapi juga pertanda seorang anak memasuki alam bujang. Sunat adalah bagian dari jati diri lelaki Melayu!" serunya dengan semangat.
Suatu hari, seorang anak berlari ketakutan saat hendak disunat. Namun, Kakek Nudin menakutinya dengan pocong-pocongan, hingga akhirnya anak itu menyerah. Anak-anak yang akan disunat dirias seperti pangeran, lalu digiring ke pemandian untuk berendam di air dingin selama dua jam. Kakek Nudin memasukkan rajah dan doa ke dalam air limau, lalu mengoleskan ramuan kampung dari pinang kering, ating asam, dan sarang laba di suar pohon seruk.
"Sunat kita ini warisan nenek moyang, janganlah kamu menolak ajaran leluhur! Sunat menandai keberanian seorang lelaki dan akan membentuk kedewasaan!"
"Sunat modern dokternya bercerita dan mendongeng, Kek! Kami diberi hadiah, peci, dan baju. Anak-anak suka!" jawab seorang anak.
Sebagai anak kampung yang bersimpati pada Kakek Nudin, saya bermimpi menjadi sutradara dan mengangkat kisah perjuangannya ke layar lebar. Kakek Nudin akan menjadi Super Nudin, pahlawan yang melawan modernisasi dan mempertahankan tradisi sunat kampung.
"Lebih baik jembatan bambu daripada jembatan besi. Sering kali tradisi sederhana namun kokoh, lebih baik daripada modernisasi yang megah namun rapuh di jiwa. Meski diterpa angin baru, akar tetaplah melekat tak meninggalkan tanah yang lama."
Kakek Nudin benar. Tradisi adalah akar yang menuntun kita menuju jalan baru di hari esok.
Biodata Penulis
Marhaen Wijayanto, penulis kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, adalah Kepala SD Negeri 7 Simpang Teritip, Bangka Barat. Karyanya telah terbit di media lokal dan nasional. Buku solonya termasuk novel "Mencari Jejak sang Depati" (2018), "Roman Terlupakan" (2019), "Segenggam Puisi dan Sajak Hujan di Awal Desember" (2021), dan kumpulan cerpen "Buku Tanpa Aksara". Alumni Universitas PGRI Semarang ini sedang dalam proses untuk beberapa novel terbarunya di 2025.
Tags
Berita