Simter - Senin pagi, 1 September 2025. Kabut tipis baru saja tersibak oleh cahaya matahari yang malu-malu di Desa Kundi, Kecamatan Simpang Teritip, Bangka Barat. Embun masih menggantung di ujung daun sawit, namun tanah di bawahnya sudah bergetar oleh suara kayu nugel yang menghantam akar. Suara cangkul menyusul, lalu tawa warga menyelip, menciptakan simfoni sederhana yaitu desa kecil yang sedang belajar menulis ulang takdirnya.
Di kebun sawit milik BUMDes Cahaya Berkah, puluhan orang berkumpul dalam barisan yang tidak rapi, namun penuh energi. Ada ibu-ibu PKK berseragam biru, petani dengan kaos lusuh, perangkat desa dengan peci hitam, hingga aparat TNI dan polisi bersepatu lars. Tak ada protokol. Tak ada kursi VIP. Semua menunduk pada tanah, dengan biji jagung di tangan, seakan sedang menyembunyikan doa dalam butir kecil yang mereka tanam.
“Ini bukan sekadar biji. Ini harapan,” ujar Bujang Itam, Kepala Desa Kundi, dengan suara serak yang lebih mirip gumaman doa ketimbang pidato resmi.
Dua dekade terakhir, Desa Kundi bertumpu pada sawit. Tanaman monokultur itu pernah memberi kemakmuran. Setiap panen, uang kontan berputar cepat. Motor-motor baru dibeli, rumah-rumah berdinding papan diganti bata, pesta pernikahan digelar meriah. Sawit seakan menanam mimpi kemajuan.
Namun, berkah itu diam-diam menyisakan rapuh. Harga tandan buah segar (TBS) sawit kerap anjlok. Biaya pupuk terus menanjak, sementara produktivitas kebun yang menua menurun drastis. Investigasi kecil kami mencatat, lebih dari separuh lahan sawit di Kundi sudah berumur di atas 15 tahun. Produktivitasnya tinggal separuh. Banyak petani memilih membiarkan kebun tua itu terbengkalai.
“Kalau sawit murah, hidup kami pun ikut murah,” kata Haryanto, petani setengah baya yang kami temui di pinggir kebunnya. Ia menunjuk batang-batang sawit tua yang seolah berdiri lelah, kehilangan daya hidup.
Sawit menanam ketergantungan. Dan ketergantungan itu menanam kerentanan.
Awal tahun 2025, dalam rapat kecil BUMDes Cahaya Berkah, Bujang Itam mengajukan ide yang semula terdengar aneh: menanam jagung di sela-sela sawit. Sebagian hadirin tersenyum miring. Sebagian lagi hanya menggeleng. Jagung dianggap tanaman kelas dua, bukan simbol gengsi seperti sawit.
Namun, Bujang Itam tidak main-main. Ia menghitung sederhana. Satu hektare jagung bisa menghasilkan lima ton. Jika harga jagung Rp5.000 per kilogram, berarti Rp 25 juta sekali panen, hanya dalam 3–4 bulan. Bandingkan dengan sawit tua: hanya Rp1,5 juta per bulan.
“Kenapa tidak kita coba?” ucapnya, seperti dituturkan Ketua PKK Desa Kundi.
Krisis harga sawit yang kian sering terjadi membuat orang berpikir ulang. Siti Maryam, anggota PKK, berkata lirih: “Sawit bikin lapar. Jagung bisa bikin kenyang.”
Ide “gila” itu pun berubah menjadi keniscayaan.
Maka, Senin pagi itu, warga Desa Kundi turun ke kebun sawit dengan kayu nugel di tangan. Mereka menancapkan kayu ke tanah, melubangi sela akar sawit, lalu menjatuhkan biji jagung. Seorang ibu PKK berjongkok menanam sambil menyeka peluh di dahinya. Seorang polisi membantu memukul akar sawit yang membandel.
“Jarang saya lihat polisi menanam,” celetuk seorang bocah kecil, matanya berbinar melihat seragam yang kotor oleh lumpur.
Gotong royong hari itu bukan slogan di baliho. Ia hidup dalam gerakan tubuh: menggali, menanam, menutup tanah, dan berharap.
Bujang Itam berdiri di tengah kebun, berpidato tanpa teks. Kata-katanya patah-patah, sering melompat dari ayam kampung, modal Rp 30 juta, hingga mimpi desa mandiri.
“Jagung ini… bukan hanya untuk dijual. Batangnya untuk sapi, daunnya untuk kambing, bijinya untuk ayam,” ucapnya.
Lalu giliran Nusiawati, PLT Camat Simpang Teritip. Ia memperkenalkan diri bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai seorang ibu dengan tiga anak.
“Jangan sampai kegiatan ini berhenti di sini. Tanam jagung harus jadi kebiasaan, harus turun ke masyarakat,” katanya dengan suara lembut, lebih menyerupai doa.
Yang mencuri perhatian adalah AKP Amri, Kabag SDM Polres Bangka Barat. Di hadapan warga, ia menyatakan:
“Program ini atensi Presiden. Kami tidak hanya menjaga desa dari kriminal, tapi juga dari krisis pangan. Insyaallah, panen nanti Bulog akan kami dorong membeli jagung Kundi.”
Kata-kata resmi itu diperkuat oleh tindakannya yang ikut menanam. Seragam cokelat bercampur tanah. Sepatu lars berlumur lumpur. Seorang ibu berbisik: “Kalau begini, polisi terasa dekat.”
Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Achmad Nursyandi, menutup dengan menekankan regulasi: minimal 20% Dana Desa wajib dialokasikan untuk ketahanan pangan. Dari Rp50 miliar dana desa se-Bangka Barat, Rp10–11 miliar diarahkan ke pangan. Sebagian kini hadir dalam bentuk benih, pupuk, dan tenaga penyuluh untuk Desa Kundi.
Namun, regulasi hanyalah garis besar. Yang menanam, merawat, dan menuai tetaplah warga desa.
Kami mencoba menyusun hitungan sederhana di lapangan:
Modal 1 hektare jagung: Rp8–10 juta.
Hasil rata-rata: 5–6 ton pipilan kering.
Harga jagung: Rp5.000/kg.
Pendapatan: Rp25–30 juta sekali panen (3–4 bulan).
Keuntungan bersih: Rp15–20 juta.
Bandingkan dengan sawit tua: Rp1,5 juta per bulan. Secara ekonomi, jagung jelas lebih menjanjikan.
Namun ada risiko: hama, cuaca buruk, dan harga yang bisa anjlok. Inilah medan belajar desa yang baru saja membuka halaman diversifikasi.
Cerita-cerita kecil menghidupkan angka-angka itu.
Pak Ismail, petani tua, berkata lirih “Saya sudah capek sawit. Jagung ini harapan.”
Seorang ibu PKK berujar: “Kalau jagung berhasil, anak-anak makan lebih baik.”
Seorang pemuda desa menambahkan: “Kalau ada usaha jagung, kami tak perlu merantau.”
Potongan-potongan suara itu membentuk mozaik tentang ketahanan pangan yang bukan hanya soal tonase, tetapi menyentuh perut, kesehatan, dan masa depan keluarga.
Apa yang dilakukan Desa Kundi sejatinya bagian dari agenda besar: swasembada pangan nasional. Presiden Prabowo sejak awal pemerintahannya menekankan diversifikasi pangan dan mengurangi impor jagung yang terus membengkak.
“Kalau desa-desa kuat, negara tak akan goyah,” ujar seorang pejabat Kementerian Pertanian dalam pidatonya.
Dari Desa Kundi, sebuah cerita kecil lahir. Namun ia sejalan dengan garis besar negara: membangun kedaulatan pangan dari akar rumput.
Ketahanan pangan bukan sekadar soal angka tonase. Ia adalah simbol martabat: desa yang makan dari tanahnya sendiri, bukan dari impor.
Di sela-sela sawit yang renta, Desa Kundi menanam jagung. Sekilas sederhana, namun sesungguhnya mereka sedang menulis bab baru: menolak kalah oleh pasar global, menolak rapuh oleh monokultur.
Jagung dari Kundi adalah benih kecil. Benih yang menumbuhkan harapan. Dari tanah, untuk perut, dan untuk martabat