Ketika Laut Menuntut Balas, Mengapa Reklamasi Tak Boleh Sekadar Janji


Oleh: Medi Hesti (mantan Wakil Ketua DPRD Bangka Barat)

Laut Tempilang bukan sekadar hamparan air asin, ia adalah kitab panjang yang menulis kesetiaan manusia terhadap alam. Setiap riak gelombang menghafal wajah nelayan, setiap buih ombak menyimpan kisah kehilangan ikan dan harapan.

Namun kini, laut tampak murung. Ia seperti perempuan tua yang menatap jauh ke garis horizon, membawa amarah yang tenang, amarah yang tumbuh dari pengabaian. Di sanalah, di bawah cahaya bulan yang redup, laut mulai menuntut balas.

Medi Hesti, mantan Wakil Ketua DPRD Bangka Barat, menegaskan dalam sebuah diskusi publik bahwa reklamasi tidak boleh hanya berakhir pada seremonial dan janji politik. Ia harus menjadi bukti nyata tanggung jawab atas izin yang telah diberikan kepada para pelaku tambang, termasuk di wilayah IUP Laut Tempilang.
Pesan itu terdengar sederhana, tetapi maknanya dalam, laut tidak bisa disuap oleh wacana.

Laut di Tempilang menyimpan jejak logam dan keserakahan. Di bawah permukaannya, pasir timah menjadi rebutan antara mesin dan manusia. PT Timah, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di laut Tempilang, mengantongi izin resmi yang secara hukum sah. Namun, di lapangan, laut tak bisa membedakan mana tambang legal dan mana yang liar.

Berdasarkan data 2025, PT Timah memiliki IUP laut seluas 184.672 hektare, hampir sepertiga dari total wilayah operasionalnya.

Namun, di bawah izin itu, kehidupan nelayan sering menjadi korban.
Dalam laporan Pena Babel berjudul “Jeritan Nelayan Tempilang dalam Cengkeraman IUP PT Timah”, disebutkan bahwa wilayah tangkap nelayan kini rusak, dan hasil laut menurun drastis karena sedimentasi dan kerusakan ekosistem dasar laut.

Sementara itu, patroli Bakamla RI pada awal 2024 menemukan 35 ponton ilegal yang beroperasi di perairan IUP PT Timah Tempilang, menandakan bahwa bahkan wilayah berizin pun masih menjadi surga tambang liar.

Ironisnya, kejahatan itu terjadi di dalam area yang seharusnya diawasi ketat oleh perusahaan. Artinya, izin telah kehilangan makna moralnya, menjadi surat sah untuk menutup mata terhadap luka ekologis.

Setiap kali reklamasi disebut, rakyat pesisir menoleh dengan mata curiga.
Mereka pernah dijanjikan pemulihan, penanaman mangrove, penenggelaman terumbu buatan, restocking biota laut, pembangunan penahan abrasi.
Namun sebagian besar hanya berakhir di atas kertas seperti doa yang dibisikkan tanpa usaha.

Padahal, reklamasi adalah utang ekologis, bukan pilihan sukarela.
Jika perusahaan telah menambang laut, maka mereka wajib mengembalikannya, bukan sekadar menampilkan baliho bertuliskan “Green Mining”.

PT Timah dalam laporan resminya memang mengklaim telah melakukan reklamasi laut melalui terumbu buatan dan penanaman mangrove.

Namun, menurut penelitian E. Arnanda (Universitas Bangka Belitung, 2021), kegiatan reklamasi di perairan pascatambang masih bersifat simbolik dan belum memenuhi indikator ekologis seperti peningkatan tutupan karang hidup dan kepadatan ikan.

Arnanda menulis bahwa “aktivitas tambang laut mengubah karakter fisik dasar perairan, menurunkan kecerahan, meningkatkan padatan tersuspensi, dan berdampak pada menurunnya produktivitas ikan demersal.”

Artinya, tanpa pengawasan ilmiah dan keterlibatan masyarakat, reklamasi hanya menjadi upacara kosmetik bagi luka yang bernanah.

Ilustrasi Alam: “Kabinet Reklamasi”
Bayangkan jika laut punya parlemen sendiri.
Di sana duduk para menteri:

Menteri Janji, sibuk berpidato di atas ponton.

Menteri Dokumen, menggulung peta reklamasi tanpa isi.

Menteri Publisitas, menyiarkan video terumbu buatan yang ditenggelamkan hanya demi tender CSR.

Namun tak ada Menteri Realisasi.
Tak ada yang benar-benar menurunkan kaki ke lumpur dan menghitung nyawa ikan yang hilang.
Reklamasi berubah menjadi ritual politik suci dalam acara, kosong dalam makna.

Itulah sebabnya Medi Hesti menegaskan, “reklamasi bukanlah proyek seremonial; ini kewajiban moral untuk mengembalikan keseimbangan laut yang telah dirusak oleh manusia sendiri.”
(Pernyataan ini merupakan parafrase dari pandangan beliau dalam konteks isu lingkungan pesisir Bangka Barat, menunggu konfirmasi kutipan langsung.)

Jika laut menuntut balas, ia melakukannya dengan cara yang tak bisa kita cegah.
Pasang naik membawa abrasi, ikan menghilang dari jaring, dan gelombang menggerus pantai seperti halaman buku yang disobek satu per satu.

Reklamasi sejati harus:

Transparan dan terukur — buka data RKL/RPL dan hasil pemantauan kepada publik.

Partisipatif — libatkan nelayan dan akademisi dalam perencanaan serta pengawasan.

Berbasis sains — gunakan indikator ekologis, bukan foto simbolik.

Diawasi secara hukum — tindak tegas ponton ilegal dan manipulasi pelaporan.

Seperti yang dicatat WALHI (2023) dalam laporan “Menolak Tambang Laut Batu Beriga”, pelibatan masyarakat pesisir secara bermakna adalah satu-satunya cara agar reklamasi menjadi adil, bukan alat pembenaran bagi kerusakan.

Laut menuntut, bukan karena ia dendam, tapi karena ia jujur.
Ia mengembalikan setiap yang kita tabur: keserakahan, kebohongan, atau ketulusan.
Ketika reklamasi hanya dijadikan janji, laut menjawab dengan kehilangan.
Namun jika kita menepatinya dengan kerja nyata, laut akan memberi kembali kehidupan.

Dan di sanalah arti sejati dari pesan Medi Hesti:
Reklamasi bukan sekadar proyek lingkungan, tapi cermin moral bangsa terhadap lautnya sendiri.

Daftar Referensi
Arnanda, E. (2021). Analisis Dampak Aktivitas Pertambangan Timah Laut terhadap Ekosistem Perairan. Jurnal Akuatik, UBB.

Jeritan Nelayan Tempilang dalam Cengkeraman IUP PT Timah. PenaBabel.com (2024).

Bakamla Amankan 35 Ponton Tambang Ilegal di Laut Tempilang. WowBabel.com (2024).

Reklamasi Laut Wujudkan Pertambangan Berkelanjutan. KabarBangka.com (2023).

Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga Menolak Tambang Laut. Walhi.or.id (2023).

Data Luas IUP Laut PT Timah Tbk. CNBC Indonesia (2025)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

close
Selamat Datang di Media Nasional KrimsusTv Media Nasional website www.krimsustv.online