Mentok, Bangka Barat - Pantai Tembelok di Kampung Mentok Asin, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Mentok, menjadi saksi bisu kematian seekor buaya besar pada Selasa (14/10/2025). Bangkai buaya dengan tubuh menggelembung, sisik terkelupas, dan mata kosong menatap laut keruh itu ditemukan terdampar, memicu tanda tanya besar di kalangan warga. Keheranan lebih mendominasi daripada rasa takut, mempertanyakan bagaimana predator sekuat buaya bisa takluk di habitatnya sendiri.
Video penemuan buaya berdurasi lebih dari satu menit itu dengan cepat menyebar luas di media sosial. Status WhatsApp, grup-grup warga, hingga forum daring dipenuhi perbincangan mengenai kejadian ini. "Asli oo, bukan kaleng-kaleng, di pantai Tembelok. Pening die kena tailing rajuk. Perut sudah kembung," ujar seorang warga dalam video, dengan nada getir yang menyiratkan pemahaman mendalam akan penyebab kematian buaya tersebut.
Ironisnya, respons cepat dari para pejabat berbanding terbalik dengan kecepatan penyebaran kabar tersebut. Hingga sore hari, bangkai buaya itu tetap tergeletak di antara buih ombak dan sampah plastik, menjadi representasi diam dari pantai yang kian kehilangan esensinya.
Dugaan kuat dari sejumlah warga mengarah pada aktivitas penambangan di sekitar pesisir sebagai penyebab kematian buaya. Limbah yang dibuang ke laut dituding sebagai faktor utama. "Airnya sudah lama berubah warna, kadang hitam pekat, kadang seperti susu kopi. Kami tak berani mandi di sini lagi," ungkap seorang nelayan tua yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.
Pantai Tembelok, yang dulunya merupakan tempat bermain favorit bagi anak-anak, kini lebih sering didatangi oleh alat berat dan kapal ponton. Lumpur tailing dari aktivitas rajuk dan tambang laut membentuk lapisan-lapisan baru di dasar laut, mengancam kehidupan biota laut. Tragisnya, buaya yang seharusnya menjadi penjaga alam, justru menjadi korban dari keserakahan manusia.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah daerah maupun pihak penambangan setempat. Aktivis lingkungan mendesak agar kematian buaya ini menjadi peringatan keras bagi pihak berwenang untuk mengevaluasi kembali izin tambang laut di kawasan Mentok Tembelok. "Buaya itu mungkin bukan sekadar binatang mati. Ia bisa jadi cermin dari kondisi laut kita yang sekarat," ujar seorang pemerhati lingkungan muda dari komunitas Mentok.
Namun, seperti yang sering terjadi, suara-suara keprihatinan ini sering kali tenggelam dalam tumpukan laporan formal dan rapat koordinasi yang tidak membuahkan hasil. Di balik meja-meja kantor, angka produksi lebih sering menjadi fokus utama daripada keluhan laut yang kehilangan vitalitasnya.
Bagi warga Kampung Mentok, kejadian ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, mereka telah menemukan ikan-ikan mengambang, kepiting mati, dan air yang berbau logam. Namun, kematian buaya yang merupakan simbol kekuatan dan kesabaran ini membawa pesan yang tak bisa diabaikan: laut sudah mencapai batas kemampuannya.
"Kalau buaya saja bisa mati begini, apa lagi kami manusia?" ujar seorang ibu yang sedang menjemur ikan asin di tepi pantai, dengan nada getir yang menusuk hati. Seolah laut itu sendiri tengah menyampaikan doa dalam keheningan, berharap agar manusia menghentikan aktivitas penambangan, setidaknya untuk sementara waktu, agar laut dapat bernapas kembali.
Saat senja tiba, bangkai buaya itu perlahan hanyut terbawa arus. Tanpa upacara atau doa, hanya tatapan pilu dari warga yang terdiam. Di balik ombak yang kembali tenang, laut Mentok menyimpan rahasia yang hanya dapat dibaca oleh mereka yang berani menghadapi kebenaran: bahwa yang mati bukan hanya buaya, tetapi juga nurani.
Tags
Berita