Belo Laut: Negara Diam, Para Penambang Mengatur Pesisir Seperti Tuan Tanah



Oleh: Tim Investigasi Lingkungan

Belo Laut, Bangka Barat — batas ruang hidup nelayan di Belo Laut kini dipreteli dengan sangat vulgar. Patok yang mereka tanam untuk melindungi area tambatan kapal, dicabut oleh para penambang timah apung ilegal (TI apung). Peristiwa itu terjadi Kamis, 6 November 2025, di Dusun 3, Desa Belo Laut, Kecamatan Muntok.

Di sinilah ironi paling getir itu mengunci wajah negara di depan kenyataan: para penambang kini lebih berdaulat dibanding hukum yang tertulis.



Nelayan berteriak bukan untuk meminta bantuan, tapi meminta negara kembali menjadi negara.

“Stop lah, Pak. Batas tiang pancang kami dicabut, sekarang mereka kerja mengarah ke Jetty,” keluh Jupri bukan nama asli, nelayan Belo Laut, kepada Bhabinkamtibmas Desa Belo Laut, Aiptu Amra.

Ibu-ibu di pesisir Belo Laut menyaksikan semua itu. Mereka melihat bagaimana garis demarkasi itu dicabut seperti mencabut harga diri.

Ada foto yang menunjukkan Amra, Babinkamtibmas, menunjuk garis pantai yang sudah berubah seperti sedimen mati. Pada gambar lain, TI apung berjajar seperti rumah-rumah dari besi yang sedang merampok masa depan di siang bolong.

Sisi lain memperlihatkan seorang lelaki berjalan di area bekas kupasan dasar laut tanah itu tidak lagi menyerupai pantai. Ia menyerupai “kubangan pasca operasi”.

Gambar itu bukan sekadar dokumentasi lapangan. Itu adalah bukti bahwa Belo Laut bukan pesisir, Belo Laut adalah luka.

Menurut warga, para penambang yang merambah garis Jetty itu bukan orang Belo Laut. Mereka masuk membawa alat, membawa dana, membawa jaringan, dan menggunakan dalih bahwa mereka “bekerja untuk warga”.

Padahal yang tersisa justru:

bangkai bakau perepat

sungai keruh

jalur ikan hilang

Pohon bakau perepat besar yang harusnya menjadi benteng ekosistem pesisir tampak roboh. Tumbang, mati Dan tetap tegak berdiri sebagai monumen kematian.

Belo Laut kini menjadi museum kehancuran hidup.

Aiptu Amra menahan geram. Ia menerima keluhan warga dan berjanji akan meneruskan laporan ini ke Kapolsek Muntok.

“Mereka ini dikasih hati minta jantung,”
ujar Amra.

Ancaman bukan lagi “mendekati Jetty”. Ancaman sekarang adalah menghapus Jetty.

Mang Totok bukan nama asli, tokoh setempat, akhirnya menutup percakapan dengan ultimatum paling rasional dalam perang ekologis ini:

“Tutup 100 persen, kami setuju. Kemarin kerja arah ke talud, sekarang ke sini. Mau ke mana lagi? Arah laut pula!”

Kalimat ini bukan emosi. Kalimat ini adalah vonis moral.

Mongabay Indonesia 2017 pernah menulis: Belo Laut adalah locus kerusakan pesisir tercepat di Bangka Belitung akibat ponton timah ilegal. WALHI Babel 2021 juga menyebut, Belo Laut adalah epicentrum perubahan morfologi pesisir akibat ekstraksi liar mineral timah.

Artinya, kasus yang kita saksikan 6 November 2025 ini bukan “peristiwa baru”.

Ini hanya bab terbaru dari novel kriminal yang belum pernah selesai karena negara sendiri tidak pernah membubarkan panggungnya.

TI apung masih bekerja di Belo Laut. Nelayan masih menunggu tindakan polisi. Bakau masih mati tanpa upacara pemakaman.

Publik masih bertanya-tanya:
apakah aparat akan menindak?
atau negara sudah menjadi penonton sementara pesisirnya sendiri dikuasai oleh mafia timah?

Belo Laut adalah tubuh hidup yang hari ini ditambang tanpa anestesi.
Dan nama kejahatannya sangat jelas: ekstraksi mineral tanpa moral.

Referensi Pustaka (Literatur)
Mongabay Indonesia, 2017 — Ribuan Ponton Ilegal Rusak Belo Laut – Bangka Belitung dalam Krisis Tambang Laut

WALHI Sumsel-Babel, Policy Paper 2021 — Evaluasi Tata Kelola Timah Pesisir: Belo Laut sebagai Studi Kasus Kerusakan Mangrove

TEMPO Investigasi, 2022 — Para Tengkulak Timah: Peta Mafia, Rantai Gelap, dan Pantai Belo Laut

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

close
Selamat Datang di Media Nasional KrimsusTv Media Nasional website www.krimsustv.online