Mentok, Bangka Barat —
Di sebuah kampung yang dikelilingi hamparan sawit dan tanah berdebu bekas galian, Rabu (12/11/2025) masyarakat Desa Belo Laut (identitas disamarkan) menatap masa depan dengan kebingungan yang sama: siapa sebenarnya pemilik tanah tempat mereka berpijak?
Bagi mereka, tanah itu bukan sekadar lahan melainkan harapan untuk hidup. Namun, di atas harapan itu berdiri dua raksasa: PT Timah Tbk dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP)-nya, dan PT Gunung Sawit Bina Lestari (GSBL) dengan Hak Guna Usaha (HGU)-nya.
Di tengah dua izin besar itulah, masyarakat kecil, para penambang rakyat seperti berada di bawah bayang-bayang yang menindih.
“Jangan coba-coba ke budung itu,” ujar seorang warga di lapangan, suaranya lirih tapi tegas. “Itu wilayah perusahaan.”
Budung istilah lokal yang berarti area tambang tertutup atau dilarang disentuh menjadi metafora ketakutan di kalangan masyarakat. Di balik istilah itu tersembunyi tumpang tindih klaim antara tambang dan sawit, antara legalitas perusahaan dan realitas rakyat yang menggali tanah demi sesuap nasi.
Dalam percakapan panjang yang terekam dari lapangan, warga menyebut beberapa pihak yang mereka sebut CV sebagai perantara antara masyarakat dan “bos besar” yang mengatur tambang: CV
Rivana, CV TMR, dan nama-nama lain yang berganti sesuai siapa yang “berkuasa” hari itu.
“Kalau semalam kata Pak Hendri, nggak bisa lewat aku. Kami punya CV, nggak bisa diganggu,” kata seorang penambang dengan nada getir.
Warga menyebut bahwa setiap kelompok tambang kecil diatur oleh CV tertentu, yang menentukan siapa boleh bekerja, siapa dilarang, dan ke mana hasil tambang disetorkan. Mesin-mesin besar yang beroperasi di area tersebut pun, menurut pengakuan warga, bukan milik masyarakat melainkan milik bos-bos dengan koneksi kuat pada perusahaan besar.
Menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sebagian area HGU PT Gunung Sawit Bina Lestari (GSBL) di Bangka Barat bersinggungan langsung dengan IUP PT Timah Tbk.
Tumpang tindih ini memunculkan zona abu-abu hukum, di mana baik perusahaan sawit maupun tambang merasa memiliki hak atas lahan yang sama.
Akibatnya, masyarakat yang menambang di wilayah tersebut sering dianggap “ilegal” oleh satu pihak, namun “dilindungi” oleh pihak lain. Beberapa warga bahkan mengaku sempat diminta berhenti menambang oleh manajemen perusahaan sawit, namun di sisi lain mendapatkan izin informal dari oknum perantara tambang untuk tetap beroperasi.
“Kami ini cuma rakyat kecil, cuma mau cari makan,” ujar seorang warga yang diwawancarai di lokasi tambang. “Kalau kami kerja, dibilang ilegal. Kalau kami berhenti, kami lapar. Tapi yang punya mesin besar tetap jalan.”
Di balik gegap gempita investasi, masyarakat Belo Laut justru merasa terpinggirkan dari manfaat ekonomi yang dijanjikan.
Baik PT GSBL maupun mitra PT Timah disebut tidak banyak membuka peluang kerja bagi warga setempat.
“Dulu waktu sawit masuk, kami pikir akan banyak kerja,” kata seorang tokoh masyarakat. “Nyatanya, pekerjanya banyak dari luar. Kami cuma jadi penonton di tanah sendiri.”
Situasi serupa terjadi pada kegiatan tambang. Warga mengeluh, mitra tambang PT Timah yang beroperasi di wilayah sekitar tidak memberi ruang bagi penambang lokal untuk ikut bekerja secara resmi. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial: sebagian warga melihat segelintir pihak mendapatkan izin dan keuntungan, sementara mereka tetap di posisi paling bawah rantai produksi.
Suara dari Pemerintah: IPR dan WPR Sebagai Jalan Tengah
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejatinya telah menyadari masalah ini.
Dalam rapat bersama DPR RI, sebagaimana dilaporkan Kompas (26 Maret 2024), Pemprov Babel menyampaikan bahwa sulitnya masyarakat memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR) menjadi penyebab maraknya aktivitas tambang tanpa izin.
Menurut laporan Ombudsman RI, Bangka Belitung sebenarnya sudah memiliki beberapa Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), namun pelaksanaannya masih lemah dalam aspek pengawasan dan pendampingan.
Sementara itu, Kementerian ESDM telah menetapkan 1.215 WPR di seluruh Indonesia, termasuk di Bangka Belitung, sebagai dasar penerbitan IPR yang bisa memberikan kepastian hukum bagi penambang rakyat.
Harapan besar masyarakat pun tumbuh. Sebagaimana dilaporkan ANTARA Babel (2024), para penambang menggantungkan asa pada inisiatif program BERAMAL (Bersama Rakyat Menambang Legal) untuk menyelesaikan persoalan WPR dan IPR di Babel.
Bahkan organisasi masyarakat sipil PERISAI Babel ikut mendorong DPRD dan PT Timah untuk memfasilitasi izin bagi tambang rakyat kecil, agar kegiatan tambang tidak lagi berada di wilayah abu-abu.
Bagi warga Belo Laut, sawit dan timah kini hanyalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya besar, kuat, dan jauh dari jangkauan mereka.
Yang satu menguasai tanah, yang lain menggali perut bumi, sementara rakyat hanya menatap dari pinggir parit dan menunggu giliran yang tak kunjung datang.
Di tengah tanah yang tumpang tindih antara HGU dan IUP, yang sebenarnya bertindih adalah kepentingan, bukan sekadar garis di peta.
Masyarakat berharap agar Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) segera direalisasikan, sehingga tambang rakyat memiliki payung hukum yang jelas.
Mereka tak ingin menjadi bagian dari “budung” wilayah terlarang yang hanya menyimpan ketakutan dan kesunyian hukum.
Sumber Validasi dan Literatur:
Data Lapangan (2025): Transkrip percakapan masyarakat Belo Laut, Mentok, hasil observasi dan dokumentasi jurnalis.
Kementerian ESDM: Penetapan 1.215 Wilayah Pertambangan Rakyat
Kompas (26 Maret 2024): Pemprov Babel Persoalkan Sulitnya Izin Tambang Rakyat
Ombudsman RI (2024): Bangka Belitung Sudah Miliki WPR, Perlu Pengawasan
ANTARA Babel (2024): Penambang Timah di Babel Menaruh Harapan Besar terhadap Program BERAMAL
ANTARA Babel (2025): PERISAI Babel Tindaklanjuti Rekomendasi DPRD untuk Urus Izin Tambang Rakyat Kecil ke PT Timah
Tags
Berita





