Timah Gelap di Atas Ombak Tempilang

Menyoroti konflik keadilan ekologis dan ekonomi yang tak berkesudahan di perairan Tempilang,

Bangka Barat, khususnya terkait dengan aktivitas penambangan timah laut.Inti laporan berfokus pada perlawanan warga lokal, nelayan Tempilang, terhadap praktik penyelundupan (penggelapan) timah yang diangkut secara ilegal menggunakan speed boat pada malam hari atau mobil pengangkut yang meloloskan diri di jalur darat. Tindakan ini merugikan nelayan secara ekonomi dan merusak lingkungan.

Berikut adalah poin-poin penting dari laporan tersebut:

1. Peran Nelayan Sebagai Garda Terdepan

 * Aksi Warga: Nelayan seperti Baharudin dan Baidi bertindak sebagai petugas patroli sukarela dan saksi hidup.

   * Pada 1 Oktober 2025, Baharudin dan rekannya bersama anggota Satgas Halilintar berhasil menghadang speed boat dan menyita 189 kg bijih timah basah.

   * Pada 20 September 2025, Baidi gagal menahan mobil yang membawa hampir satu ton timah dari tambang laut DU 1545, yang mengakibatkan hilangnya kompensasi nelayan sebesar Rp 10.000 per kilogram.

 * Sentimen: Nelayan menuntut "timah terang" (bisnis legal dan transparan) dan menolak "penggelapan" (ilegalitas yang mencuri masa depan) dan menyebutnya sebagai konflik keadilan.

2. Dampak Ekologis yang Mengkhawatirkan

 * Kerusakan Habitat Laut: Penambangan laut menyebabkan penyebaran sedimen hingga radius 6–7 mil. Penelitian (Adi dkk, 2024) mencatat penurunan drastis luas padang lamun di Bangka Belitung hingga 82,79% antara tahun 2000-2022. Kerusakan ini memiskinkan nelayan karena menghilangkan rumah ikan kecil.

 * Korban Jiwa dan Kerusakan Darat: WALHI mencatat bahwa antara 2017–2024, setidaknya 91 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang (baik ilegal maupun rakyat) di darat dan laut, khususnya di kolong-kolong sisa tambang yang sering dekat permukiman.

 * Kemiskinan Ekologis: Bangka Belitung kehilangan 460.000 hektar hutan tropis (2014–2020), lebih dari 1.000 sungai tercemar, dan 10.858 hektar mangrove rusak.

3. Kritik Terhadap Tata Kelola dan Penegakan Hukum

 * Aparat dan Sistem Pengawasan: Laporan mengkritik aparat yang lamban dan mempertanyakan efektivitas sistem radar dan patroli yang mudah dikelabui oleh modus pengangkutan cepat di malam hari.

 * "Delusi" Negara: WALHI menyebut negara dalam "delusi" karena fokus pada penyelesaian kasus korupsi timah Rp 300 triliun (kasus tahun 2025 yang melibatkan lima perusahaan) namun gagal melakukan pemulihan ekologi secara nyata.

 * Ironi Aset Sitaan: Penyerahan aset hasil sitaan (alat berat, smelter, timah olahan) dari kasus korupsi ke PT Timah disebut sebagai "simfoni tambang" yang melegalkan aset ilegal oleh negara, sementara nelayan tetap diposisikan sebagai "aktor kelas rendah".

 * Masker Perusahaan: Program CSR, patroli, dan izin dianggap sering menjadi "topeng" dan "jubah sakti" yang menutupi kerusakan lingkungan.

4. Solusi yang Ditawarkan

Laporan ini menggarisbawahi beberapa solusi untuk mencapai "Timah Terang" yang berarti keadilan dan transparansi:

 * Pengawasan Terpadu: Patroli laut yang intensif didukung teknologi (radar, drone, satelit).

 * Transparansi Alur: Pelacakan bijih digital dengan kode elektronik untuk mencegah kebocoran.

 * Kesejahteraan Warga: Kompensasi langsung dan akuntabel agar nelayan menjadi penerima manfaat utama.

 * Keterlibatan Komunitas: Pemberdayaan nelayan dalam sistem pelaporan dan pengambilan keputusan izin tambang.

 * Penegakan Hukum: Sanksi tegas bagi aparat dan perusahaan yang melanggar.

 * Pemulihan Nyata: Reklamasi lubang tambang dan pemulihan ekosistem (mangrove dan lamun).

Keseluruhan laporan ini menyimpulkan bahwa suara nelayan adalah tuntutan keadilan, agar laut tidak "dijual di malam buta," dan agar masa depan generasi tidak diwarisi dengan kolong, air cokelat, dan kematian.


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

close
Selamat Datang di Media Nasional KrimsusTv Media Nasional website www.krimsustv.online